Jumat, 07 Mei 2010

3 WANITAKU




--> -->

Berawal dari perjalananku ke Brebes menyelamatkan kekasihku dan sampai pada petualanganku ke kota hujan mencari pengganti istriku. Namun, ternyata hatiku masih terpaut di kota Tegal tempat tinggal kedua wanitaku.
Sampai di malam pengantinpun aku masih merindukannya. Menyesali kebejatanku dan kini aku menjalani kehidupan yang nyata ada di depanku. Aroma melati menggiringku ke pelaminan siap bersanding dengan wanita dari dunia maya.
***



-->
Menikah… Itulah kata yang selalu terngiang-ngiang dalam ingatanku. Lima tahun yang lalu aku pernah merasakannya, tapi sekarang aku sudah lupa. Untungnya aku masih ingat wajah istriku yang telah mendahuluiku bertemu dengan Sang Pencipta. Sebulan terakhir ini aku sedang dekat dengan wanita yang wajah dan bentuk tubuhnya belum kulihat. Jika kau tidak gaptek tentulah tahu dunia maya. Media komunikasi manusia berbagai penjuru dunia dari kota yang megah dan dusun terpencilpun bisa terjamah. Namanya Tanti. Dia mengaku tinggal di Bogor, kota yang selalu menjadi kambing hitam ketika banjir melanda Jakarta. Sedangkan aku tinggal di daerah Pantura kota Bahari.
Aku tinggal tidak sendiri, sikembar selalu menghiburku ketika aku dalam kesepian. Tawanya yang menggemaskan serta lincah membuat aku masih betah menduda selama empat tahun. Yana dan Yani anakku, mereka tumbuh tanpa pernah merasakan ASI dari ibunya.
***
Hesti tersenyum manis menyambutku setiap kali aku pulang kerja. Aku bahagia dan merasa sangat beruntung menjadi lelaki yang bisa menikahi wanita yang konon masih ada keturunan dengan priyayi dari keraton Solo. Aku tidak begitu menghiraukan silsilah istriku karna aku tak mau ambil pusing. Yang ku tahu hanyalah aku mencintainya dan aku ingin menikah dengannya. Ternyata pilihanku tepat. Baru satu bulan kami menikah Tuhan telah menitipkan janin di perut istriku. Aku senang bukan kepalang. Keluargaku menyambutnya dengan penuh sukacita. Malam ini aku mengajak Ayah, Ibu, Mas Rohman, dan kedua adikku Toni dan Ridho serta orang yang paling penting Hesti ­­­­--- istriku yang sebentar lagi akan menjadi seorang ibu --- pergi ke sebuah Restoran Sea Food dekat dengan pantai tempat aku dan Hesti dulu dan sampai sekarang sering memadu kasih.
Malam ini aku ingin memberikan yang terbaik untuk calon ibu dari anakku. Telah kusiapkan segala sesuatu dari yang biasa sampai yang luar biasa. Intinya aku ingin memuaskan dan membahagiakan dia sampai ke puncak orgasme yang paling nikmat. Aku terinspirasi ide ini dari sebuah acara televisi yang menayangkan beberapa cara membahagiakan istri saat di ranjang. Sebelum memulai semuanya aku ingin dimulai dari sebuah adegan dimana saat dulu tujuh tahun yang lalu aku memintanya untuk bersedia menjadi pacarku. Aku melangkah mendekati istriku yang sedang menyisir rambutnya yang terurai panjang, harum, dan lembut. Sesungguhnya aku sudah tidak tahan untuk segera memulainya, hanya dari mencium wangi rambutnya aku sudah bisa menikmati wangi bagian tubuh yang lain dan secara cepat membangunkan bagian tubuhku.
“Hesti” aku memanggil istriku. Dia menoleh sambil penuh tanya, karna setelah kita resmi berpacaran aku membiasakan diri untuk memanggilnya dengan sebutan ayank dan sampai kita menikah.
“apa mas?” kembali kulihat keningnya mengernyit.
“ga papa kok, aku cuma mau ngasih ini buat kamu” kuberikan sekotak coklat. Aku tahu Hesti suka coklat dari temanku Rini dan saat itu saat ku akan menembaknya, aku membongkar celengan ayam jagoku untuk membelikan coklat seharga enam ribu perak. Untungnya tabungan yang baru kuisi lima belas hari itu sudah mencapai dua belas ribu tujuh ratus rupiah. Jadi aku bisa membeli dua buah coklat, satu untuk Hesti dan satunya lagi untuk kedua adikku Toni dan Ridho.
“lho ini kan udah malem, aku juga udah gosok gigi, kenapa dikasih coklat?” agaknya Hesti belum menyadari. Sambil tersenyum dia menerima coklat itu. Kaki kiriku sedikit kutarik ke belakang dan aku berjongkok posisinya seperti pangeran mengajak sang putri menari. Tangan kanan istriku yang jemarinya begitu lembut kupegang dengan penuh hati-hati takut sampai tergores dengan tanganku yang kasar ini. “Hes,,, kamu suka coklat kan?” istriku mengangguk. Persis seperti saat aku dulu menyatakan cintaku. “kalo sama aku, Andi yang berkulit coklat ini, apa kamu juga menyukainya?” tepat seperti yang kukira, Hesti telah menyadarinya bahwa aku mengulang adegan yang tak pernah bisa kami lupakan. Hesti merengkuh tanganku dan mengajakku berdiri. Tersenyum dan memelukku. Dan yang terjadi di kamar indah ini adalah hal-hal yang indah pula.
***
Aku tidak tahu kemana aku harus pergi membeli infus dan obat-obatan sesuai dengan resep yang diberikan dokter. Karna sekarang adalah pukul sepuluh malam. Semua apotek pasti sudah tutup. Tapi aku tidak menyerah begitu saja. Aku langsung menelpon teman sepermainanku Ezi. Kutanya dimana aku bisa menebus resep dokter, sedang tidak ada apotek yang masih buka. Ezi seorang apoteker yang bekerja di sebuah apotek tapi sayang jaraknya lumayan jauh dari rumah sakit tempat istriku bersalin. Ezi bersedia membantu mengantarkan aku ke apotek tempatnya bekerja. Malam ini juga aku harus ke Brebes untuk memperoleh obat-obat yang sangat sedang dibutuhkan istriku. Aku harus menempuh jarak kira-kira empat sampai lima puluh kilo meter dengan mengendari sepeda motor. Ezi mengemudi dan aku membonceng di belakang. Bukan karna aku tidak bisa mengendarai sepeda motor melainkan aku kalut dengan keadaan ini. Aku tidak siap. Tiba-tiba saja dokter yang membantu persalinan istriku mengatakan bahwa kondisi istriku kurang baik untuk melahirkan, lemah dan dapat membahayakan sang ibu. Dokter menyarankan untuk operasi cesar agar istriku bisa beristirahat saat dibius. Tapi istriku tetap ngeyel, dia ingin anak pertamanya dilahirkan dengan normal tanpa ada operasi. Kalo sudah yang namanya ingin, Hesti tidak bisa diubah lagi, sepintas kulihat istriku baik-baik saja dan nampak bahagia menunggu kelahiran si mungil. Istriku meyakinkan aku bahwa dia baik-baik saja, dia ingin merasakan perjuangan seorang ibu yang bertaruh nyawa untuk melahirkan seorang anak. Karna ibunya selalu menceritakan pengorbanan dan perjuangannya saat melahirkan anaknya Hesti yang kini menjadi istriku. Ia bersikeras agar kelak ia bisa menceritakan pada anaknya tentang rasanya melahirkan dan perjuangannya mengeluarkan seorang bayi. Aku tidak bisa memaksa dan dokterpun akhirnya manut dengan permintaan istriku.
***
Belum selesai teriakanku yang sangat bahagia melihat putriku lahir ternyata istriku belum selesai perjuangannya, ia masih harus mangeluarkan sisa-sisa tenaganya untuk melahirkan satu lagi bayi yang ada dalam perjalanan mencari pintu keluar. Dan lagi-lagi anugrah itu lahir ke dunia. Aku dikaruniai dua putri kembar yang cantik dan manis. Rasanya aku ingin segera menggendong kedua putriku di pangkuanku dan mengantarkan mereka untuk disusui ibunya. Ketika kupanggil mesra, istriku tetap tidak bergerak, dia tertidur pulas karna begitu lelah. Tapi ada rasa yang mengganjal dalam hatiku. Aku saat ini bahagia mendapatkan dua putri seperti yang didamba-dambakan keluargaku tapi hatiku gelisah. Sekali lagi kupanggil Hesti dengan kecupan yang paling lembut dan belaian di pipinya, tetap saja istriku tidak bergeming. Dadaku sesak. Aku takut istriku pergi. Segera kupanggil dokter dan beberapa suster serta keluarga yang sedang berebut ingin menggendong kembar di luar kamar inap. Semua ingin ikut masuk. Ingin mengetahui yang terjadi. Dalam hati tak henti-hentinya kupanjatkan doa dan harapan serta ampunan yang pernah kulakukan pada siapapun aku berharap istriku baik-baik saja.
Dokter keluar dengan sedikit senyum yang menurutku dipaksakan.
“istri bapak baik-baik saja” alhamdulilah………...tapi,
“hanya saja istri bapak mengalami dehidrasi yang hebat, istri bapak butuh banyak cairan dan beberapa obat-obatan yang di rumah sakit ini tidak tersedia, jadi bapak harus menebusnya di apotek luar.” Lututku lemas, hampir saja aku terjatuh tapi aku masih bisa menguasai diri.
“jam segini apa masih ada apotek yang buka dok?” dokter hanya menyerahkan selembar kertas berisi tulisan yang tidak bisa terbaca, apa semua dokter harus seperti ini tulisannya? Pikirku sejenak mengamati secarik kertas ini.
***
Orang-orang sudah pulang dan tinggal aku sendiri duduk di depan makam istriku Hesti, kekasihku yang paling aku cintai. Selama proses upacara pemakaman aku tidak hentinya bertanya dalam hati, setelah kamu pergi siapa yang akan membangunkan aku sholat tahajud? Siapa yang akan membangunkan bagian tubuhku yang kau bilang lucu? Siapa yang akan menyusui kembar? Siapa yang akan tersenyum manis menyambutku saat pulang kerja? Siapa yang…, siapa yang…, aku tidak tahan dengan bendungan air mata yang sudah tidak sabar keluar muncrat dan mengalir sampai aku lelah.
***
Aku berharap aku tidak terlambat memberikan obat yang kubeli sampai menempuh jarak lima puluh kilo meter dari Tegal kota tempatku tinggal sekarang. Dan betul saja istriku masih terbaring tapi sudah siuman dari pingsannya karna suster memberikan suntikan yang ku tak tahu kandungannya. Segera kucium pipinya yang halus dan kurengkuh tubuhnya yang tak bertenaga itu. Aku begitu takut kehilangan istriku yang paling kucintai ini. Setelah kondisi istriku membaik dokter mengijinkan besok istriku bisa pulang.
Aku begitu lelah dan kini kuterbangun dari tidurku yang lelap disamping istriku. Kami bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Si kembar telah dimandikan dan harum telon membuat aku ingin menciumi anak-anakku tapi ibuku melarang karna aku belum mandi. Istriku tersenyum melihat kelakuanku yang seperti anak kecil karna senang mendapatkan adik baru. Belum sempat aku beranjak ke kamar mandi tiba-tiba istriku terbatuk-batuk, aku pikir karna dia tadi tertawa geli melihat tingkahku, bukan tertawa. Istriku batuk-batuk dalam waktu yang relatif lama tidak seperti batuk biasanya. Dan keluarlah darah dari mulutnya, dia memegangi dadanya, kulihat dia susah bernafas. Aku panggil siapa saja untuk menolong Hesti. Tangannya memegangiku dan berbisik “mas aku sayang kamu, jaga anak kita. Maaf tugasku telah usai. Jaga diri mas baik-baik.” Kupegangi tangan istriku yang mulai dingin. Lidahku kelu dan aku tak mampu harus berbuat apa. Kelopak matanya yang indah perlahan menutup. Sekali lagi aku berusaha memanggil siapa saja untuk menolong istriku. Tapi takdir tidak menolongnya.
***
Tanti mengajakku menikah. Buatku ini terlalu cepat, karna kami memang belum sempat ngopi darat. Kami memang sudah berkirim foto lewat email. Agaknya Tanti gadis baik dan dari keluarga baik-baik. Dia sering mengirimkan paket untuk Yana dan Yani, kadang baju, sepeda mini untuk balita, tas punggung, dan masih banyak lagi. Aku tidak menyangka dia akan melanjutkan pertemanan kami sampai hubungan serius. Sebenarnya aku hanya iseng saja, untuk mengisi kesepianku karna sudah empat bulan aku ditinggal kekasihku Sari. Aku kenal Sari saat kembar baru berumur tiga bulan. Sari masih duduk di bangku SMA kelas 2. Cantik, pintar, dan baik. Sari tidak seperti gadis seusianya yang manja dan sering merengek minta dibelikan ice cream atau dibelanjakan baju model terbaru di Mall. Sudah dua tahun aku mengenalnya dan aku menaruh hati padanya. Sayang dia masih seumur jagung masih bau kencur, aku harus menunggu gadis berkulit sawo matang itu lulus dari kuliah itu yang menjadi cita-citanya menikah setelah kerja biar bisa bantu mama. Sari memang gadis penurut tapi dia cerdas dan kritis dengan berbagai hal yang menurutnya ganjil. Tapi sekarang setelah aku berpacaran dengannya selama satu tahun dia meninggalkanku. Itu karna ulahku sendiri. Aku tidak bisa menahan hasrat yang terpendam bertahun-tahun setelah istriku meninggal. Aku ingin menjamah gadis lugu itu. Sari begitu ketakutan saat ku keluarkan bagian tubuhku yang menurut istriku lucu, tapi bagi Sari sangat menakutkan. Dia menjerit dan menamparku keras! Hampir saja aku terjungkal karna Sari pernah mengikuti Pencak Silat.
Aku menyesal jika mengingat apa yang pernah kulakukan pada gadis lugu itu. Meskipun, usianya masih belia, tapi dia begitu lembut dan mampu memberikan perhatian seperti yang pernah istriku dulu berikan. Ketika aku disampingnya aku merasa istriku masih hidup dan jiwanya masuk ke dalam raga Sari. Senyum manisnya selalu mengingatkanku pada Hesti. Namun, sekarang Sari begitu membenciku, air mataku mengalirpun dia tidak memperdulikanku dan mungkin Sari tak akan pernah bisa memaafkanku.
***
Persiapan pernikahan hampir selesai dan aku begitu santai tidak seperti dulu saat pertama kali aku akan menikah dengan Hesti. Aku tidak sebahagia dulu dan setiap malam aku merindukan Sari. Aku ingin sebelum ku melepas masa dudaku, aku bertemu dengan Sari, paling tidak ingin mengucapkan rasa sesalku dan aku ingin dia tahu bahwa aku masih sangat mencintanya. Jujur saja aku tidak begitu menyukai Tanti. Dia memang lebih dari aku. Usianya lebih tua dan secara materi dia lebih unggul. Harusnya aku merasa beruntung tapi sayang sekali ada yang membuat aku begitu merindukan Sari. Sari begitu mirip dengan Hesti dan Tanti tidak lebih cantik dari Sari.
Glosarium
Gaptek = gagap teknologi
Sea Food = makanan dari jenis ikan laut
Cesar = operasi melahirkan
Ngeyel = keras kepala
Manut = ikut
Ngopi darat = bertemu langsung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar